Setiap orang punya ekspektasi, dimulai dari keuntungan yang ia dapatkan, harapan yang ia inginkan, dan prospek seperti apa yang akan terjadi kedepannya. Begitu juga di dalam hubungan, sebuah ekspektasi pasti ada. Ketika kita menjalin hubungan, kita berharap dapat memiliki pasangan yang tepat dan sesuai dengan kriteria-kriteria yang kita inginkan. Tak jarang, kita juga mengharapkan mereka untuk menunjukkan perilaku-perilaku seperti yang kita harapkan.

Namun, tidak semua ekspektasi tentunya sesuai kenyataan. Mengapa demikian?
Ekspektasi itu sebenarnya apa sih?
Ekspektasi adalah kepercayaan bahwa hal tertentu akan terjadi di masa depan, baik positif maupun negatif, atau realistis maupun tidaknya hal tersebut. Pada dasarnya, ekspektasi ini adalah refleksi dari kecenderungan seseorang dalam berpikir.
Orang-orang yang cenderung lebih optimis biasanya akan memiliki ekspektasi yang positif. Tentunya, ekspektasi positif dapat membawakan manfaat yang positif juga. Seperti merasa senang, penuh harapan, dan berbagai emosi positif ini bisa meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebaliknya, orang-orang yang cenderung lebih pesimis akan memiliki ekspektasi yang cenderung negatif pula. Mereka cenderung percaya bahwa hal-hal buruk akan lebih mungkin terjadi kepada mereka. Maka, mereka bisa menjadi lebih cemas, khawatir, dan siap siaga untuk menghadapi ancaman yang mungkin terjadi.
Pengalaman yang terjadi selanjutnya setelah ekspektasi tersebut, menjadi sebuah konfirmasi atas pemikiran yang mereka miliki. Kondisi ini disebut sebagai confirmation bias.

Mungkin kamu pernah memulai pagi hari dengan pergi ke kantor, dan tidak sengaja lupa membawa dokumen yang penting untuk meeting hari ini. “Duh, sial banget, Kayaknya hari ini bakal jelek deh, pagi-pagi aja udah sial banget.” Sepanjang hari berjalan dengan baik-baik saja. Kamu pergi meeting dan hasilnya cukup baik meskipun ada revisi. Kamu juga bisa makan siang dengan tenang sambil mengobrol dengan temanmu. Namun ketika pulang, tidak sengaja kamu kehujanan hingga barang-barangmu basah dan kamu juga jatuh karena licin. Di saat itu kamu berpikir, “Tuh kan! Memang sih dari pagi aku sudah sial, sudah kuduga akhir harinya aku juga akan sial.” Berbagai akumulasi pengalaman buruk tersebut membuat kamu berpikir bahwa ekspektasi dirimu tadi pagi bahwa kamu akan sial betulan terjadi, terlepas dari adanya kejadian positif yang mengisi hari. Di momen selanjutnya ketika kamu mengalami hal buruk di pagi hari, kamu akan cenderung berpikir bahwa harimu buruk karena kamu sudah pernah mengalami pengalaman tersebut.
Begitulah cara ekspektasi bekerja. Sifatnya seperti sebuah lingkaran yang berputar. Keyakinan yang ada diinterpretasi oleh kita, yang kemudian menciptakan pengalaman yang mengonfirmasi interpretasi tersebut. Seolah-olah, semua itu benar apa adanya.
Ekspektasi Umum di Dalam Hubungan
Sekarang kita kembali ke topik awal, bagaimana ketika ekspektasi tersebut berada dalam hubungan?
Maka ekspektasi ini bisa menjadi pedang bermata dua.
Ketika ekspektasimu di dalam hubungan itu buruk, maka besar kemungkinan hubungan tersebut akan berjalan buruk sesuai pemikiranmu. Di sisi lain ketika ekspektasi tersebut baik namun tidak realistis, maka kamu juga akan mudah kecewa dan hubungan tersebut tidak akan baik di matamu.
Beberapa orang percaya bahwa sebaiknya tidak memiliki ekspektasi dalam hubungan. Takutnya nanti kecewa karena ekspektasi itu tidak sesuai bayangan, dan juga ini menjadi cara agar mereka tidak terlalu tersakiti di masa depan. Namun sebetulnya, memiliki ekspektasi itu penting. Dengan adanya ekspektasi, seseorang akan bisa menentukan hubungan seperti apa yang ia inginkan, kualitas seperti apa yang ia cari dalam pasangan, dan tentunya, positive expectations lead to a healthier relationship.💪🏻
Maka sebetulnya, sangat wajar untuk seseorang memiliki ekspektasi di dalam hubungan. Tetapi perlu hati-hati juga dalam menaruh batasan. Sadari ketika ekspektasi ini menjadi tidak realistis, berikut tanda-tandanya:
Kita menganggap pasangan sama seperti kita
Percayalah bahwa terlepas dari kita sudah mencari pasangan yang sepadan dan seimbang, perbedaan pasti akan selalu ada. Dalam tahap tertentu, perbedaan ini sangat wajar untuk ada. Justru dengan menjalin hubungan, kita perlu mencari tahu perbedaan ini dan kemudian menyamakan pandangan. Semisalnya, kamu menganggap penting untuk terus memberikan kabar setiap saatnya. Apa yang kamu lakukan, dimulai dari kapan kamu makan, mandi, bekerja, pergi ke luar. Bagimu penting untuk memberikan update di setiap waktunya. Sementara pasanganmu berpikir bahwa meskipun kabar penting, menurutnya cukup untuk memberi kabar di pagi hari ketika pergi ke kantor dan mulai mengobrol denganmu ketika pulang kantor. Di jam-jam tertentu, kamu kecewa ketika tidak menerima kabar saat dia sedang bekerja. Kekecewaan ini membuat kalian sering bertengkar karena adanya perbedaan yang kamu pikir tidak seharusnya ada. Apa yang penting menurutmu, belum tentu penting menurutnya. Ekspektasi membuat kita berpikir bahwa pasangan akan berpikir dan bertindak seperti kita, padahal kenyataannya, kita bisa menjadi sangat berbeda.
Kurangnya komunikasi
Meskipun wajar untuk memiliki ekspektasi terhadap satu sama lain, terkadang ada pasangan yang tidak mengkomunikasikannya dengan baik. Ketika tidak ada komunikasi terjalin, maka rentan terjadi salah paham. Tidak jarang, ada juga orang-orang yang cenderung gengsi menyampaikan keinginannya. Hal-hal begini memperbesar kemungkinan perselisihan terjadi. Ingat, pasanganmu tidak bisa mengetahui semua keinginanmu.
Pertengkaran terus terjadi karena hal sepele
Dimulai dari masalah memberi kabar, terkadang juga muncul masalah-masalah kecil lainnya yang menghambat hubungan. Kita pikir kita memang sangat berbeda dan tidak cocok, makanya terus bertengkar. Semakin sering bertengkar, semakin sering jarang berkomunikasi, akhirnya berujung kepada kurangnya koneksi dengan pasangan.
Cara untuk Mengatur Ekspektasi
Tentunya kita tidak menginginkan untuk hubungan menjadi buruk hanya karena ekspektasi yang kurang realistis atau kurangnya komunikasi. Kunci untuk mengatur ekspektasi dimulai dari:
Refleksikan mengapa ekspektasi itu ada
Ekspektasi itu tidak mungkin hanya ada tanpa alasan. Kebanyakan ekspektasi datang dari nilai yang kita pegang, atau pengalaman masa lalu yang kita miliki. Contohnya kamu mungkin merasa cemas ketika tidak menerima kabar dari pasangan sehingga sering menuntutnya untuk selalu membalasmu setiap saat. Ternyata ekspektasi ini datang karena dahulunya kamu memiliki pengalaman masa lalu menyakitkan yaitu diselingkuhi oleh pasanganmu, sehingga ini membuatmu selalu ingin tahu kabar pasanganmu agar tidak terulang kejadian yang sama. Ingat bahwa pengalaman masa lalu memang menyakitkan, tetapi pasanganmu tidak bertanggungjawab atas itu. Sebaliknya, kamu dapat mencoba untuk menjelaskan kepada pasanganmu mengapa kamu memiliki ekspektasi tersebut, tanpa harus memaksanya untuk mengikuti kehendakmu. Terkadang, perlu juga untuk dirimu mengambil langkah dengan bertemu seorang professional untuk membantu permasalahanmu.
Mengubah caramu berpikir
Jangan berasumsi bahwa pasanganmu memahami apa yang kamu inginkan. Mulailah dari belajar menyampaikan apa yang kamu harapkan dari pasanganmu, dan juga belajar menerima bahwa ia sedang dalam proses belajar memahami apa yang kamu inginkan. Tidak semua yang kamu inginkan bisa tercapai, sehingga kita perlu memahami juga bahwa ada hal-hal yang perlu kita penuhi sendiri dan bukan mengharapkannya datang dari pasangan. Sebagai contohnya, kita tidak mungkin mengharapkan pasangan kita untuk selalu menghabiskan waktu bersama kita. Sebagai gantinya, kita tetap perlu mencari hobi atau kegiatan lain untuk mengisi waktu luang, atau juga membangun relasi di luar pasangan kita.
Berkompromi
Kompromi adalah kunci dari semua relasi. Bukan berarti kamu selalu mengalah atau dia selalu mengalah demi keinginan satu sama lain. Namun keduanya perlu lebih fleksibel dan menyamakan pendapat. Contohnya, kamu merasa perlu selalu menghabiskan waktu bersama, tetapi pasanganmu seringkali sibuk. Di satu sisi, kamu harus sadar bahwa tidak bisa untuk bersama setiap waktu, namun pasanganmu juga harus mengerti untuk meluangkan waktu untukmu. Kompromi di sini bisa berupa menetapkan jadwal untuk bertemu setiap minggu, dan juga selalu bertukar kabar di penghujung hari. Baik keduanya sama-sama perlu menyesuaikan diri demi kepentingan bersama dan demi relasi yang lebih sehat lagi.
Pada akhirnya, dengan menciptakan ekspektasi yang realistis dan sehat, kita bisa menghindari kekecewaan berlebihan dan juga lebih seimbang dalam hubungan. Ingat bahwa satu-satunya orang yang bisa mengatur ekspektasi hanyalah diri kita sendiri, dan bukan orang lain.